Mutiara Sanad Hadis “Cinta Bangsa”

Dari Ustadz Arif Chasanul Muna
--------

MUTIARA SANAD HADIS “CINTA BANGSA”

-I-
Banyak ulama  yang menyusun kitab ‘al-Arba’un’, kitab yang berisi empat puluh hadis Nabi. Namun tidak begitu banyak di antara ulama -khusunya muta'akhkhirin- yang bisa menyusun kitab jenis ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah. Selain menghimpun empat puluh matan hadis yang berbeda, kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah” menyaratkan empat puluh hadis tersebut diperoleh eksklusif dari empat puluh guru yang berbeda dan masing-masing guru tersebut berada di/berasal dari empat puluh kawasan (balad) yang juga berbeda. Bukan hal gampang untuk menemui banyak guru di empat puluh kawasan yang berbeda, kemudian mendapat hadis yang berbeda-beda beserta sanad yang menyambung hingga Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam-. 

 kitab yang berisi empat puluh hadis Nabi  MUTIARA SANAD HADIS “CINTA BANGSA”

Syaikh Muhammad Yasin b. ‘Isa al-Fadani (1335-1410H/1915-1990 M.) merupakan salah satu ulama yang mendapat anugrah besar ini. Di antara kitab ‘al-Arba’un’ yang ia susun, salah satunya yaitu “al-Arba’un al-Buldaniyyah: Arba’un Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan min Arba’ina Baladan”. Karya ini menjadi bukti ketelatenan dan keuletan ia dalam melaksanakan ‘rihlah’ mengunjungi aneka macam kawasan –bukan untuk menikmati keindahan alam atau destinasi-, namun untuk mendengarkan eksklusif hadis-hadis Nabi dari verbal mulia para pewarisnya yang tinggal di aneka macam negeri.

Dari empat puluh ulama yang dijumpai dan disebut Syaikh Yasin dalam kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah”, dua belas di antaranya berasal dari daerah-daerah di Nusantara. Yaitu (1) Palembang; (2) Jakarta; (3) Tangerang; (4) Serang Banten; (5) Semarang; (6) Lasem; (7) Surabaya; (8) Jombang; (9) Jember; (10) Malang; (11) Purbolinggo; dan (12) Johor Malaysia. Di daerah-daerah ini Syaikh Yasin menemui para ulama untuk mendapat hadis dan menyambung sanad hingga Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-


Salah satu hadis yang menarik dalam kitab tersebut yaitu hadis ke 36. Hadis ini diriwayatkan oleh seorang tabi’in wanita yang tinggal di Damaskus berjulukan Fusailah. Beliau pernah mendapat dongeng dari ayahnya yang berjulukan Watsilah ibn al-Asqa’ –radliyallahu ‘anhu- perihal sebuah kenangan indah ketika ayahnya tinggal di Madinah berjumpa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dikisahkan sobat Watsilah bertanya kepada Rasulullah,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ؟
“Wahai Rasulallah, apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) kalau seseorang menyayangi kaumnya?”

Nabi menjawab,
لَا
“Tidak”

Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan,
وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
“Yang termasuk ‘ashobiyyah yaitu kalau seseorang menolong kaumnya berbuat kezhaliman.”

Ikatan sedarah-seketurunan merupakan faktor pembentuk utama sistem sosial bangsa Arab pada masa Nabi. Komunitas yang tinggal di satu tempat sanggup dipastikan berasal dari satu kabilah yang seketurunan. Orang-orang Yahudi di Madinah, tidak berkumpul di satu tempat atas dasar agama, melainkan menurut keturunan. Bani Qainuqa berkerumun tinggal di tengah kota Madinah. Sementara keturunan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah membangun komunitas di selatan Madinah. Begitu juga dengan penduduk asli Madinah suku Aus dan Khazraj, yang kemudian banyak yang masuk Islam. Di Makkah keadaanya juga tidak jauh berbeda. Bani Bakr, Bani Taghlib, Quraisy, Kinanah, Ghathfan, Hawazin merupakan nama-nama kabilah yang membentuk komunitas-komunitas ekslusif di kawasan Makkah dan sekitarnya waktu itu. Masa itu sulit dibayangkan seseorang dari satu kabilah membangun kehidupan keluarga di tengah-tengah kabilah lain.

Unsur pengikat antar anggota kabilah yaitu ‘ashabiyyah, fanatisme terhadap komunitas. Merasa sedarah dan bernasab sama. Semangat ini menumbuhkan kecintaan dan solidaritas yang berpengaruh antar sesama anggota kabilah. Tolong-menolong dan pundak membahu menjadi tradisi yang mengakar di dalam satu kabilah. Namun di sisi lain ‘ashobiyyah mengakibatkan problem hubungan antar kabilah. ‘Ashobiyyah yang berlebih memicu berkembangnya narasi kebencian antar kabilah. Sebagian diekspresikan melalui syair-syair haja’, sebagian lain melalui cemoohan dan usikan harian. Permasalahan sepele antar kabilah sanggup menjadi pemicu konflik bahkan berakhir dengan pertumpahan darah. Perang al-Basus antara kabilah Bakr dan Taghlib berawal hanya alasannya yaitu seekor unta milik warga Bani Bakr terbunuh. Perang yang mengoyak ketenangan dan ketentraman ini berkecamuk usang hingga empat puluh tahun.

Watsilah ibn al-Asqa’ pernah mencicipi kehidupan ibarat itu. Kehidupan yang penuh kebanggan terhadap kelompoknya, plus cibiran dan kebencian terhadap komunitas lainnya. Tahun 9 hijriah ketika Nabi hendak ke Tabuk, Watsilah tiba dan menyatakan masuk Islam. Dalam naungan ukhuwwah Islamiyyah, sobat yang berasal dari kabilah Kinanah ini merenung apakah sesudah menjalin ikatan dengan Islam, ikatan terhadap suku dan kabilah harus dilepas? Ia merasa menghapus rasa cinta dan gembira terhadap komunitasnya yaitu bukan masalah mudah. Dia pun menetapkan untuk bertanya kepada Nabi, “Apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) kalau seseorang menyayangi kaumnya?” Dengan tegas Nabi pun menjawab, “Tidak”

Cinta kepada suku atau kabilah tempat di mana seseorang dibesarkan yaitu fitrah; kecenderungan asli yang ada pada diri setiap manusia. Cinta ibarat ini yaitu cinta anugrah ilahi. Namun kecintaan itu menjadi terlarang apabila melewati batas proporsinya; mendorong timbulnya kebencian kepada pihak lain, memicu konflik dan pertumpahan darah. Yang terakhir inilah ‘ashobiyyah jahiliyyah yang dilarang.


- II -

Hadis di atas diriwayatkan Syaikh Yasin dengan sanad yang terdiri dari dua puluh tujuh perawi yang menyambung hingga Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Di balik rangkaian sanad tersebut tersimpan kisah sejarah. Mengamati perjalanan transimisi hadis ini melalui rangkaian sanad dari satu generasi ke generasi sangatlah menarik. Penyebaran hadis tersebut selama empat belas kala hijriah ternyata tidak hanya berkutat di Madinah dan Makkah saja, tempat awal Nabi menyampaikannya. Hadis ini menyebar ke beberapa negeri, dan setidaknya ada enam kawasan penting yang dilalui jalur penyebaran hadis ini.

Yang pertama yaitu kota suci Madinah tempat perjumpaan Watsilah dengan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa salllam-. Watsilah membersamai Nabi di Madinah tidak lebih dari tiga tahun. Sepeninggal Nabi, Watsilah menetapkan untuk menuju Syam dan tinggal di sana. Kenangan indahnya bersama Nabi di Madinah kemudian ia ceritakan kepada putrinya berjulukan Fusailah yang berdomisili di kota Damaskus. Kota besar sentra pemerintahan Umawiyyah masa itu. Di kawasan ini hadis tersebut kemudian diriwayatkan kepada generasi berikutnya, ‘Abbad Ibn Katsir (w. 171) yang juga berasal dari Syam tepatnya dari Palestina.

Daerah ketiga yang menjadi jalur perlintasan periwayatan hadis ini yaitu Iraq dan sekitarnya. Kota bau tanah yang penuh sejarah yang dikuasai umat Islam pada masa ‘Umar Ibn al-Khaththab. Pindahnya periwayatan dari Damaskus ke Iraq terjadi sesudah Ziyad ibn al-Rabi’ al-Bashri (w 185) pergi ke Damaskus dan kemudian memboyong periwayatan hadis tersebut untuk disebarkan di kawasan asalnya, Bashrah. Dari kota Bashrah ini hadis tersebut kemudian teriwayatkan di kota Baghdad melalui Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241), putranya yang berjulukan ‘Abdullah (213-290), Abu Bakr al-Qathi’i (273 - 368), Ibn al-Mazhab (355-444) dan terakhir Hibatullah al-Syaibani (432-525).

Setelah empat kala berada di sekitar Iraq, hadis yang mengisahkan obrolan antara Nabi dan sobat Watsilah ini kemudian kembali lagi ke Syam pada kala ke enam hijriah. Ceritanya yaitu ketika Hanbal al-Rashafi (510-604) –seorang ‘alim Baghdad yang namanya merupakan santunan Syaikh ‘Abdul-Qadil al-Jilani- pergi ke Damaskus. Di sana ia disambut dengan baik. Banyak ulama Syam yang menemuinya untuk mendengarkan hadis-hadis yang ia riwayatkan. Di antara yang beruntung menemuinya yaitu seorang wanita jago ibadah dan jago hadis berjulukan Zainab binti Makki al-Harraniyyah (w. 688). Waktu itu Syaikhah Zainab masih sangat kecil belum lewat sebelas tahun. Dari wanita ‘musnidah’ ini lah jadinya hadis ini kembali beredar di Syam tepatnya di kota Damaskus. Di kota ini pada tahap berikutnya, Ahmad Ibn Muhammad al-Jaukhi (lahir 683) menjadi orang yang amat beruntung. Di ketika masih kecil belum lewat tujuh tahun, ia mendapat anugrah kesempatan berjumpa Syaikhah Zainab yang usianya sudah senja. Ia mendapat ijazah periwayatan hadis tersebut dan jadinya ia pun menjadi penerus silsilah sanad hadis ini di Damaskus.

Tradisi yang menarik, belum dewasa pada generasi terdahulu, dibimbing orang tuanya untuk belajar, mendengarkan hadis dan mendapat ijazah dari guru-guru, meskipun usianya masih sangat belia. ‘Tahammul hadis’ (mendapatkan periwayatan hadis) memang tidak disyaratkan usia dewasa. Bukankah Sayyidina Husain yang masih kecil sering mendengar ucapan dan melihat datuknya, kemudian sesudah sampaumur ia menceritakan dan meriwayatkannya?

Kota berikutnya yang mendapat berkah menjadi jalur perjalanan transmisi hadis ini yaitu Mesir. Pada kala ke delapan hijriah seorang alim Mesir al-‘Izz ‘Abdurrahim Ibn al-Furat (735-807) bertekad melangkahkan kaki melaksanakan perjalanan thalabul-ilmi ke Damaskus. Ia sengaja ingin berjumpa dengan al-Jaukhi –seorang ‘alim yang populer di Damaskus waktu itu. Ia pun mencar ilmu kepadanya dan mendapat ijazah periwayatan hadis ini, kemudian membawanya dengan penuh kegembiraan ke negeri kelahirannya, Mesir. Hadis yang penuh berkah itupun jadinya mengalir di Mesir ibarat mengalirnya sungai Nil yang penuh keberkahan. Periwayatan hadis cinta bangsa di kota ini berlangsung cukup usang hingga enam abad, melalui sebelas ulama kesohor pada setiap generasi hingga kala ketiga belas hijriah. Di mulai dari Syaikh Ibn al-Furat yang membawa hadis ini dari Syam, kemudian Imam al-Suyuthi (w. 911), Yusuf al-Armiyuni (w. 958), Ibn Hajar al-Haitami (909-973), ‘Ali al-Ziyadi (w. 1024), Ali al-Halabi yang wafat di Mesir 1044 H, Ali Syubra-Malisi (997-1087), al-Budairi (w. 1140), Syaikhul-Azhar ke-8 Syaikh Muhammad Salim al-Hifni (w. 1181) dan terakhir Syaikhul-Azhar ke 12 Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) yang hidup ketika Mesir diekspansi oleh Prancis.

Waktupun terus berjalan, di kala ketiga belas hijriah periwayatan resmi hadis ini kemudian berpindah ke kota Makkah. Syaikh Utsman al-Dimyathi (1196-1265) –seorang alim Mesir- murid dari Syaikh al-Syarqawi meninggalkan tanah kelahirannya dan melaksanakan perjalanan menuju Makkah al-Mukarramah. Di kota suci ini ia menetapkan untuk menghabiskan sisa umurnya dan jadinya wafat di sana. Kota Makkah menjadi kawasan kelima, sesudah Madinah, Syam, Iraq dan Mesir yang menjadi tempat perlintasan penyebaran hadis Nabi ini. Di kota yang menjadi saksi parahnya ‘‘ashabiyyah jahiliyyah” pada masa Nabi dulu, Syaikh Utsman al-Dimyathi yang berasal dari Mesir mengijazahkan hadis cinta bangsa tersebut kepada muridnya berjulukan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1231-1304) yang memang lahir di Makkah. Mufti Syafi’iyyah di Makkah ini kemudian meriwayatkan kepada muridnya berjulukan Sayyid Abu Bakr Muhammad Syatha (1226-1310), seorang ‘alim bermazhab Syafi’i pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan menjadi rujukan utama para pelajar dari aneka macam negara yang menuntut ilmu di Makkah masa itu.

Sungguh beruntung kawasan di timur jauh belahan bumi yang berjulukan Indonesia, mempunyai seorang ‘alim berjulukan Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi (1285-1338) yang waktu itu bertekad mengarungi samudera menuntut ilmu ke Makkah, dan berguru kepada Sayyid Abu Bakr Syatha. Bahkan ia menjadi murid kinasihnya, mencar ilmu banyak ilmu kepadanya dan jadinya hadis yang mengisahkan obrolan perihal ‘Cinta Bangsa’ ini keberkahannya juga mengalir ke bumi Nusantara. Dari Syaikh Mahfuzh ini-lah kemudian hadis tersebut diijazahkan kepada murid mulia ia Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1282-1369), tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga pendiri Nahdlatul Ulama.

K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang inilah yang memberi silsilah sanad hadis ‘Cinta Bangsa’ kepada Syaikh Yasin (1335-1410) ketika berkunjung ke Indonesia dan kemudian ia abadikan dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah’ pada urutan hadis yang ke 36.

- III-

Petuah Nabi yang bermula di Madinah ini laksana air sejuk mengaliri kehidupan umatnya dari generasi ke generasi, berkelok mengguyurkan berkah ke aneka macam negeri; ke utara di Damaskus, dan Baghdad, kemudian ke arah barat menuju Mesir, mengalir lagi ke timur menuju Makkah dan jadinya hingga ke timur jauh, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia.

Hadis ini membawa pesan berpengaruh bahwa ‘cinta bangsa yaitu fitrah manusia’. Mungkin unsur pengikat komunitas sudah mengalami perubahan, tidak lagi sama ibarat pada masa Nabi. Ikatan kabilah bisa jadi sudah bergeser berganti pada ikatan bangsa dan negeri. Namun pesan hadis tetap sama, bahwa cinta bangsa bukanlah ‘ashobiyyah yang tercela dan tidak pula bertentangan dengan agama. Cinta tersebut menjadi nista kalau bergerak menjadi nafsu-angkara, saling hina dan saling mencela. 

Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bahwa ulama-ulama yang tertulis namanya dalam rangkaian sanad panjang tersebut yaitu orang-orang yang menyayangi negerinya. Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) pengarang “Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir” yaitu referensi konkritnya. Sewaktu menjabat syaikh al-Azhar, ia bersikap tegas terhadap siapapun yang hendak mengoyak kedaulatan dan menjatuhkan martabat bangsa Mesir. Kesewenang-wenangan Prancis dan adonan Utsmani-Inggris silih berganti ia lawan dengan menggerakkan warga Mesir baik muslim maupun non-muslim di Jami’ al-Azhar. Sejarah mencatat dengan dramatis perilaku tegas al-Syarqawi ‘membuang Syal kebesaran Prancis’ ketika diletakkan dipundaknya oleh Napoleon Bonaparte. Sikap ibarat ini merupakan wujud implementasi hadis yang ia riwayatkan, bahwa cinta negeri yaitu fitrah ilahi dan membela harkat-martabat bangsa yaitu titah nabawi.

Begitu juga dengan KH Hasyim Asy’ari. Fatwa Jihad yang ia menetapkan pada 17 September 1945, kemudian disusul resolusi jihad 22 Oktober 1945 untuk melawan Sekutu merupakan wujud implementasi sunnah Nabi, untuk membela bangsa dari tirani dan juga wujud cinta bangsa dan negeri. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan, cinta tanah air bukanlah ‘ashobiyah jahiliyyah’, cinta negeri yaitu ‘sunnah nabawiyyah’.

___________________

Hadis yang tercantum dalam kitab ‘al-Arbaun al-Buldaninyyah’ ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam al-Musnad. Dalam jalur sanad Imam Ahmad terdapat perawi berjulukan ‘Abbad ibn Katsir al-Syami, murid dari tabi’in wanita berjulukan Fusailah. Oleh banyak ulama ‘Abbad dikategorikan perawi ‘dha’if’. Namun perlu diketahui ‘Abbad tidak sendirian meriwayatkan hadis ini dari Fusailah, ada perawi lain berjulukan Salamah ibn Bisyr al-Dimasyqi yang juga meriwayatkan dari Fusailah (sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam al-Sunan dan al-Baihaqi dalam al-Sunan). Meskipun Salamah ibn Bisyr ini juga kualitasnya dha’if, namun dengan bergabungnya dua jalur sanad tersebut setidaknya jalur sanad ini mempunyai kualitas ‘hasan li ghairihi.

Hadis ini juga tercatat diriwayatkan oleh selain Watsilah, yaitu oleh Sahabat Anas ibn Malik (sebagaimana diinformasikan dalam Sunan al-Baihaqi dan juga Tarikh Dimasyq karya Ibn ‘Asakir), namun dalam sanadnya juga terdapat perawi yang kualitasnya ‘dha’if’. Redaksi hadis dalam Sunan al-Baihaqi berbunyi
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الْحَقِّ؟ قَالَ صلى الله عليه وسلم: " لَا "
Sahabat Anas ibn Malik berkata, ada seseorang mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah termasuk ‘ashobiyyah kalau seseorang menolong kaumnya dalam masalah yang hak?” Nabi menjawab, “Tidak.”

Dengan adanya beberapa jalur sanad ini Ibnu Muflih al-Maqdisi (w. 763) dalam kitab ‘al-Adab al-Syar’iyyah’ juz 1, hlm 81 menyimpulkan bahwa hadis ini mempunyai kualitas hasan.

- Rahimahumullaah wa jazaahum ‘anaa khairan -
- Wallahu a’lam bi al-shawaab-
______
Pekalongan, Ahad Wage 21 Oktober 2018/12 Shafar 1440
Arif Chasanul Muna

Tabarrukan hari santri

#harisantrinasional #santrikudungaji #santripenjaganegeri
 #pcnu_kotapekalongan #ldnu_kotapekalongan #ltnnu_kotapekalongan

#taammulat_isnadiyyah

Repost link via https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2521207267897408&id=100000244777203
close
Banner iklan disini