Mengambil Hikmah Dari Sejarah Duel Satu Sarung Dari Tanah Sulawesi

Bantaeng
Negeri asal Sitobo' Lalang Lipa'

Terletak sebelah utara kabupaten Bantaeng, tepatnya tempat biasa kita kenal dengan nama Banyorang kecamatan Tompobulu. Dahulu kala ada kebiasaan atau adat masyarakat Banyorang yang biasa di sebut dengan "Sitobo' Lalang Lipa" kebiasaan ini dilakukan untuk menentukan siapa yang paling berpengaruh dan berhak memimpin rakyat Banyorang. Maka muncullah seorang yang sangat santun dalam setiap kelakuannya, dia berjulukan Karaeng Baso Kimbannong, dia juga insan yang sangat cerdik, alasannya kecerdikannya itu maka dia memimpin rakyat Banyorang.


Singkat kisah :
Waktu itu di mulailah kegiatan tersebut dimana dia salah satu dari petarung Sitobo Lalang Lipa.Maka masuklah kedua petarung ke dalam liang yang bentuknya melingkar ibarat sumur, mereka menggunakan satu sarung berdua dan di lengkapi dengan senjata tajam tradisional yang biasa di sebut dengan Badik. Tak usang kemudian mereka berdua di naikkan ternyata hasilnya seri, mereka berdua sama-sama terluka.

Selanjutnya petarung yang kedua yang paling di tunggu dan paling seru sepanjang acara  ini yakni lawan dari Karaeng BAso Kimbannong, turun ke liang  yang berbentuk bundar tak usang kemudian beliaupun tiba dan eksklusif ikut turun, pertarungan tersebut  yang lebih serunya lagi hukum pemanis pun di adakan yaitu tiap ketika sanggup berhenti untuk istirahat.

Sudah dua kali istirahat namun belum ada yang menjadi pemenang, namun pada  karenanya Karaeng Baso Kimbannong meminta untuk istirahat yang ke tiga kalinya, masyarakat yang menyaksikan kaget mendengar undangan dia tersebut.tanpa basa kedaluwarsa dia tiba-tiba meninggalkan arena pertarungan. Tak usang kemudian beliaupun tiba dengan senyuman ciri khasnya sambil memegang beberapa bekas bacokan badik lawannya.

Turunlah mereka berdua hanya berselang beberapa menit lawan dari Karaeng Baso Kimbannong terkapar dan beliaupun bergegas naik, masyarakat sekitar bertanya-tanya ada apa dengan lawan dia yang tiba-tiba tersungkur ternyata dia menggunakan badik yang lebih pendek dan banoang (sarung badik) lebih panjang.

Memang kelihatannya badik mereka sama tapi isinya beda ada yang panjang dan ada yang pendek, jadi pada ketika menancapkan badik tersebut dia lebih cepat lima kali bacokan di banding lawannya yg gres mencabut badiknya yang panjang, itulah salah satu budi dia dan terjawab sudah siap yang akan memimpin rakyat Banyorang, dia pun memimpin dengan niat yang lapang dada dan yang namanya kehidupan niscaya ada simpulan hidup dan satu lagi impian dia sebelum meninggal, yaitu: Saya mau di kuburkan bangkit bersama badik saya biar saya sanggup adu dengan Mungkar.

Entah itu gurauan ataupun serius keluarga tetap melakukan impian beliau. Sampai ketika ini makam belaiu masih di jaga oleh orang -orang yang setia hingga akhir.Duel dalam satu sarung itu atau dalam istilah bahasa Makassar, disebut ”Sitobo Lalang Lipa", merupakan simbolik dari akar budaya kita, yang berkaitan dengan substansi yang berjulukan Siri na Pacce itu.

Siri berkaitan dengan dimensi kehormatan martabat untuk terus ditegakkan , kemudian pacce itu merupakan dimensi kemanusiaan. Artinya, walaupun kita dalam keadaan mencabut badik dalam menegakkan harga diri, maka pada ketika yang sama, dimensi kemanusiaan juga harus ditegakkan

Duel dalam satu sarung bagi orang Makassar dengan saling dilengkapi dengan benda tajam khas Makassar yang di sebut Badik, bukanlah sifat arogansi, kejam atau saling menganiaya, tetapi di pahami semacam nilai empati, nilai penghargaan kepada keberadaan rupa tau / penghargaan nilai kemanusiaan, substansi keadaan ini yakni ihwal tarik menarik antara penegakan harga diri berhadapan dengan penegakan dimensi kemanusiaan, keharuan terhadap orang lain pun muncul.

Di sinilah bagaimana insan Sulawesi Selatan, khususnya suku Makassar, menyerah dan mengelola eksistensinya (keberadaannya) untuk sanggup mengambil jalan kearifan untuk sanggup mengambil suatu langkah.Ini spesifik budaya Makassar, ketika konflik tidak sanggup lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa. Di ketika ibarat itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.Dari sinilah bertolak duel satu sarung itu.

Sebenarnya, duel satu sarung yang berlatar siri dan pacce ini banyak disalah pahami, disalah tafsirkan oleh banyak generasi gres kita. Kearifan-kearifan diletakkan oleh orang-orang renta kita, leluhur-leluhur kita dalam duel maut tersebut.

Banyak ditafsirkan salah, siri dan pacce bahkan diidentikkan sebagai hasrat untuk membunuh. Menganggap menegakkan siri tidak lain harus diselesaikan di ujung badik.Padahal duel di sini sanggup dimaknai lebih luas dan dalam: duel spiritual, duel kultural, duel kemanusiaan untuk menegakkan harga diri dan martabat sebagai hamba Allah. Makara implementasinya dari kearifan itu tadi, kita membela diri atau menegakkan kehormatan sebagai keberadaan hamba yang mulia.

Jadi, kemuliaan insan itu yang harus dibela jadi jangan hingga ada yang saling menzalimi antar sesama manusia.Kalau tak ada realitas, di masa-masa lalu, duel satu sarung hubungannya dengan penyelesaian sebuah konflik yang tidak sanggup lain kecuali harus mencabut badik dengan masuk dalam sarung untuk berduel yakni suatu simbolik, pengukuh atas kemuliaan seseorang sebagai manusia.

Nah, hubungannya dengan itu, kemudian apa yang disebut duel? Duel serin diasosiasikan sebagai pertarungan fisik. Duel identik dengan pertempuran fisik.
Padahal di sini, yang lebih subtansial, yakni spirit dari duel itu sendiri, bahwa di balik itu ada kemuliaan yang ditegakkan. Proses penegakan kemuliaan itu juga harus mulia dalam prosesnya bukan hanya sasaran yang mulia tetapi juga proses ke arah itu.Untuk menyimpulkan duel satu sarung, sarung harus diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan.

Berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama. Makara sarung yang mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang sifatnya menjerat, tetapi suatu ikatan kebersamaan di antara manusia. Ini spesifik budaya Makassar, ketika konflik tidak sanggup lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa. Di ketika ibarat itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.

Makara sarung bukan diartikan sebagai ruang sempit untuk bunuh diri, lebih-lebih bukan untuk belenggu diri. Di antara orang berduel ini di dalam kebencian itulah yang biasa disalahpahami oleh kita semua ini. Bagaimana menegakkan siri dan pacce dengan simbolik bertarung dalam satu sarung, dalam arti kata kita diikat oleh kebersamaan sebagai sesama manusia, mengapa mesti ada konflik yang harus berdarah-darah?

Inilah, ya, berdasarkan saya di sinilah subtansi kebudayaan orang Sulawesi Selatan di dalam menegakkan siri, dan pacce itu, nah di dalam ikatan dengan orientasi kekinian dalam menghadapi dunia modern, kebanyakan pragmatis, berorientasi pada kebendaan, konsumerisme begitupun dalam hal berpolitik, selalu menggunakan ‘main kayu’.Jadi penegakan siri dan pacce melalui peragaan simbolik bertarung dalam satu sarung harus kita artikan satu ikatan antar sesama manusia. Di dalam berkonflikpun kita tidak sanggup menampikkan atau membenci musuh kita.

Kita tidak sanggup mengeksploitasi lawan itu secara binatang, secara kebencian, itulah keberadaan dari kearifan budaya Makassar. Bagaimana rupa istilah Sipakatau itu dijabarkan dalam sikap sehari-hari, termasuk dalam sikap budaya pada ketika gawat yang berjulukan konflik. Di dalam konflikpun kita harus memanusiakan manusia. Kalau kita bawa hal itu ke dalam dunia moderen ibarat ketika ini bagaimana kita mengulangi apa yang dikatakan oleh pakar-pakar budaya dunia ibarat “Kita tidak sanggup membuat masa sekarang atau masa depan tanpa adanya sejarah atau masa lalu”.

Makara sejarah merupakan guru atau panitia yang memperlihatkan kita kearifan-kearifan. Makara untuk membuat keberadaban baru, perlu ada sikap kultural untuk “Discover The New In The Old”.Menemukan sesuatu yang baru, melalui proses masuk ke dalam budaya-budaya tua.

Repost dari FB https://m.facebook.com/groups/905383836210759?view=permalink&id=1742169179198883

https://www.facebook.com/daeng.mammeta.9





 Terletak sebelah utara kabupaten Bantaeng Mengambil Hikmah Dari Sejarah Duel Satu Sarung Dari Tanah Sulawesi

close
Banner iklan disini