K - O - P - I ( Oleh Goenawan Mohamad )

Re-post dari https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1892678850746238&id=1266669420013854

Kopi

“Coffee is a lot more than just a drink; it is something happening”
— Getrude Stein.

Pada suatu hari, kopi dan sufi. Di kota pelabuhan al-Mukha, Yemen, guru tarikat Shadiliyah menuangkan minuman warna hitam itu untuk murid-muridnya, biar mereka tak tertidur sepanjang malam berzikir.

 guru tarikat Shadiliyah menuangkan minuman warna hitam itu untuk murid K - O - P - I  ( oleh Goenawan Mohamad )

Delapan periode yang kemudian itu, Guru Abu Hassan Ali bin Umar memungut apa yang dilakukan orang Ethiopia, di seberang Laut Merah,  beratus-ratus tahun sebelumnya: mengunyah biji kopi, dan mereka tak mengantuk. Di Al-Mukha (dari mana kata “mocca” yang kita lihat di sajian cafe berasal) biji kopi mulai dipanggang dan minuman disiapkan. Dan dengan metode tahan-melek ala tarikat Shadiliayah itu para sufi berjalan dari daerah ke tempat, membawa  qahwa. Maka kopi pun jadi bab kehidupan religius,  jauh sebelum pemilik Starbuck menjadikannya  sebagai   adat  memuja laba.

“Mereka minum kopi tiap Senin dan Jum’at, dari teko besar tanah liat merah”, tulis Ibnu ‘Abdul Ghaffar di periode ke-16, yang mencatat yang dilihatnya dalam pertemuan para darwish di Kairo. “Seraya mengucap, “la illaha il’Allah”.  Mereka menyerupai para sufi Yaman yang mencecap kopi sambil membaca ratib, menyebut nama suci Ya Qawi. (“Wahai, Engkau yang mempunyai segala daya”) sebanyak 116 kali.

Tapi  sebagaimana banyak hal yang semula akrab dengan dunia esotoris, sedikit misterius tapi memikat, kopi pelan-pelan jadi sesuatu yang lumrah saat orang ramai menjangkaunya. Auranya tak ada lagi. Sekularisasi kopi berlangsung bersama  perubahan tata sosial dan pola hidup di masyarakat.  Terutama saat kota-kota tumbuh, perdagangan menyeruak, kehidupan publik lebih terbuka, pergaulan lebih egaliter, dan jenis waktu senggang berkembang jadi populer.

Dari al-Mukha, kopi dibawa ke  jazirah Arab.  Orang menyukainya, dan bahkan meminumnya di Masjidil Haram — hingga pada bulan Juni 1511, para ulama  mengharamkannya. Fatwa ini, didukung lebih banyak didominasi ulama Sunni, dikukuhkan kembali di tahun 1539.

Tapi kopi tak sanggup dihentikan. Kekuasaan Turki Usmani yang menjangkau hampir seluruh Timur Tengah secara tak eksklusif membuatkan minuman sufi itu jadi minuman penduduk kota.

Kedai kopi pertama didirikan di Istambul pada 1551, hasil perjuangan dua orang wiraswasta asal Suriah. Mereka dengan segera memperluas peminat kopi. Minuman ini  memperpanjang kehidupan sesudah matahari tenggelam, dan peradaban makin diperkaya oleh makin besarnya  tugas malam hari.

« Kahve odasi », kamar kopi, jadi trendy.  Cara orang memanfaatkan waktu senggang berubah.Di selesai periode ke-16, ratusan kedai kopi berdiri semenjak Istambul hingga dengan  Galilea, di wilayah Yahudi.

Dan menyerupai para ulama Islam di Mekkah periode ke-16, juga para rabbi Yahudi cemas.  Mereka harus memutuskan apakah kopi itu kosher,  halal di minum?   Di tahun 1553,  seorang rabbi di Kairo memutuskan:  umatnya boleh minum kopi yang disiapkan goyim,  tapi jangan tiba ke kedai kopi; lebih baik menikmati minuman itu di rumah.

Tapi di luar jangkaun hukum agama, kehidupan punya dinamikanya sendiri yang tanpa fatwa. “Sekularisasi” tak sanggup dibendung:  di tahun 1650, justru seorang Yahudi Libanon yang pertama kali membuka kedai kopi di Oxford, Inggris — dengan logo tutup kepala orang Turki yang dikenal hingga sekarang. Peradaban sering digerakkan satu jenis acara yang diremehkan kaum ningrat dan cendekiawan:  perdagangan.  Kopi yakni salah satu contohnya.

Tapi tak selamanya lancar.  Perubahan sosial yang dibawa dan membawa kopi ke ruang bersama di kota-kota,  tiba berbareng dengan makin egaliternya pergaulan, makin luasnya kemerdekaan pribadi,  dan menyebarnya benih demokratisasi.  Dalam sejarah,  kedai kopi bukan saja dicemaskan  agawaman, tapi juga dicurigai penguasa — dan pada gilirannya jadi pulau-pulau perlawanan.

Di pertengahan periode ke-17, di Anatolia ditegaskan kembali larangan orang berkumpul di kedai kopi, meskipun yang dicegah bukan minumannya. Penguasa melihat, atau menduga, kemungkinan bisik-bisik politik dan persekutuan di dalamnya.  Dalam sejarah politik Eropa, cafe yakni daerah persemaian inspirasi seni, sastra dan politik. Bukan hanya di periode ke-20, menyerupai yang jadi sejarah intelektual Prancis di wilayah Rive Gauche Paris,  di mana Sartre dan Simone de Beauvoir membuka “seminar” sambil minum kopi dan anggur.  Juga tercatat bahwa revolusi Amerika dan Prancis dirancang di coffee houses.

Howard Schultz, pendiri Starbuck, menyamakan  kekuatan kopi dengan orkes simfomi:  terletak di tangan beberapa individu di balik  orkestrasi yang membangun daya tariknya.  Starbuck memang sanggup membuktikannya bahkan dengan kopi yang tak enak.  Tapi kekuatan kopi  pada hasilnya ada di daerah lain: dalam  suasana asyik, bebas, tak harus bertujuan — dan dengan itu, tanpa mabuk, menciptakan jiwa lepas. Dan ini sanggup mencemaskan dan bikin sulit mereka yang, dengan agama dan politik, mencoba mencegah kebebasan.

Getrude Stein benar. Dengan kopi, ada sesuatu yang terjadi.

Goenawan Mohamad


close
Banner iklan disini